Menulis, Sebuah Judul yang Sedang ‘Digilai’

Oleh Herman RN

Sungguh di luar dugaan tatkala sebuah workshop atau seminar menulis diikuti oleh lebih dari seratus peserta. Kendati ‘gila’ menulis mulai merambah ke semua lini masyarakat, baik masyarakat biasa maupun penguasa, baik yang hidup sekarat mapun pejabat. Itulah yang terlihat oleh saya saat memberikan “sepukul dua pukul” tentang kepenulisan dalam seminar menulis yang diadakan oleh Pemerintah Mahasiswa (PEMA) Universitas Syiah Kuala, Rabu (14 Januari) kemarin. Seminar diadakan dalam agenda Unsyiah Fair 5 itu telah mengagetkan saya. Betapa tidak, peserta yang hadir nyaris saja memenuhi ruang tengah gedung Gelanggang Unsyiah, yang luasnya melebihi lapangan bulu tangkis berganda.

Menurut informasi dari panitia penyelenggara, peserta seminar atau sebut saja workshop itu mencapai 450 lebih. “Gila!” kata saya saat mendengar jumlah peserta itu dari panitia. Semula saya kurang percaya semua peserta akan mengikuti acara tersebut, karena selama ini dalam amatan saya, seminar, workshop, diskusi, atau apa pun nama perkumpulannya, atas dasar kegiatan menulis, peserta yang berminat selalu di bawah 100 orang. Karenanya, sekali lagi saya katakan, jumlah cang panah tentang menulis pada hari itu adalah sebuah angka yang ‘gila’.

Terlepas dari ‘kegilaan’ itu, ada yang aneh pada spanduk panitia. Keanehan panitia itu saya nggap sebagai kurangnya manajemen seni. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka mahasiswa yang masih muda-muda sehingga nama di kain rentang lain, lain pula yang hadir sebagai pembicara. Kepada peserta, tak perlu heran (waktu itu ada peserta yang bertanya pada saya tentang keanehan itu). Hal ini semoga dapat dimaklumi, itulah mahasiswa sekarang.

Kembali kepada prsangka ‘gila’ menulis bagi masyarakat Aceh. Prasangka gila ini kemudian tertukar dengan sebuah kata “wajar” tatkala saya menyaksikan peserta yang hadir. Menurut amatan saya waktu itu, hampir setengah peserta yang ada pada hari itu dari kalangan pegawai—dalam hal ini adalah guru PNS, selebihnya mahasiswa dan siswa. Mengamati kenyataan itu, kepala saya langsung teringat sertifikasi guru. Karena itu, kemudian saya berpikir adalah wajar saja seminar menulis sekarang ini di Aceh sudah mulai ‘digilai’ orang. Bukankah dalam sertifikasi, guru diminta harus bisa menulis?

Dalam hal ini, sebuah apresiasi patut diberikan kepada pemerintah yang telah memberika sebuah kewajiban kepada guru untuk bisa menulis. Kendati beban “wajib menulis” itu diberikan kepada guru agar bisa membuat karangan ilmiah, seminar-seminar atau diskusi cara menulis menembus koran pun menjadi sebuah keniscayaan untuk diketahui guru. Atas dasar itu pula, warkah ini saya tulis sembari berharap menjadi sebuah pencerahan terhadap pertanyaan peserta—terutama peserta yang guru—yang belum sempat saya diskusikan pada Rabu kemarin berhubung banyaknya pertanyaan yang diajukan dan singkatnya waktu tersedia untuk kita berdiskusi.

Mengapa Harus Koran?

Pertanyaan yang menarik saya dapatkan ahri itu adalah “Mengapa harus cerpen? Mengapa harus koran? Kami butuh cara menulis ilmiah.” Kalau tidak salah ingat, pertanyaan ini dilontarkan seorang guru perempuan. Ia mengaku kesal karena pertemuan hari itu bukan membicarakan bagaimana cara membuat tulisan ilmiah, melainkan menulis bebas di koran seperti cerpen dan essay. Dari kekesalan ibu guru itu, saya semakin yakin betapa menulis sekarang sudah menjadi sebuah kebutuhan dalam masyarakat Aceh tanpa memandang status dan predikasi. Hanya saja perbedaannya pada jenis tulisan. Jika para guru berharap sangat menulis bisa menulis ilmiah, mahasiswa dan siswa, lebih besar harapannya bagaimana agar bisa menulis cerpen atau karangan bebas lainnya.

Meskipun dua perbedaan ini muncul dalam diskudi hari itu, saya tetap pada konten yang diminta panitia, yakni “Bagaimana menulis dapat menembus koran”. Yang namanya menulis di koran, hemat saya tidak hanya karya fiksi seperti cerpen, karangan ilmiah juga ada di koran. Menulis opini dan essay merupakan bagian dari karangan ilmiah, yaitu ilmiah pouler. Maka, saat kita berbicara bagaimana membuat peta pikiran dalam menulis, bagaimana mengembangkan ide tulisan, bagaimana membuat outline, dan terkahir bagaimana menembus koran, semua itu menjadi penting juga bagi guru.

Baik ilmiah maupun tidak tulisan itu, yang namanya mengembangkan ide, membuat peta pikiran, menjadikan tulisan bernas, dan sejenisnya, adalah rambu-rambu sebelum dan ketika menulis. Oleh sebab itu, menjadi penting juga mendiskusikan hal itu semua, tidak hanya menjadi garapan tulisan fiksi. Artinya, semua rambua-rambu itu dapat dipakai saat menulis buku, jurnal, atau menulis di koran.

Adapun tentang menulis agar dimuat di koran, hemat saya juga menjadi sebuah kepentingan. Di samping bahwa setiap tulisan yang dimuat di koran, baik hanya berupa essay atau opini, kepada guru yang menulis itu akan mendapatkan tambah nilai kum guna menunjang kenaikan golongan. Ini alasan pertama (mungkin) mengapa menulis di koran itu menjadi penting juga.

Hal lainnya adalah bahwa koran di negara kita ini sudah dijadikan patokan standardisasi kepada seseorang untuk menulis. Sering kita mendengar, orang yang sudah dimuat tulisannya di koran akan mendapatkan berbagai kemudahan. Kemudahan itu di antaranya saat menawarkan karya kepada penerbit untuk dibukukan. Penerbit dapat terpedaya saat mengetahui bahwa yang menawarkan tulisan itu adalah orang yang sudah pernah menulis di koran-koran.

Dengan demikian, menjadi penting mengetahui kiat-kiat menulis dapat menembus koran seperti tujuan seminar yang diadakan oleh Pema Unsyiah hari itu. Salah satu hal penting tersebut adalah bahwa koran dibaca oleh semua khalayak. Koran diterbitkan untuk dijual, bukan untuk mendapatkan nilai kum. Maka, bagi mereka yang hendak menulis di koran, kendati tujuannya agar mendapatkan nilai kum dari tulisan yang dimuat itu, ia harus mempertimbangkan ide tulisannya. Dalam hal ini, ide harus layak jual dan bahasa lebih lepas lenggam ilmiah tingkat tinggi.

Selain itu, bahwa koran terikat dengan halaman dan kolom, juga menjadi penting dijadikan panduan kepada penulis. Karena itu, tulisan yang panjang, sering tidak dimuat oleh koran, kecuali memang koran tersebut mau memuatnya dalam bentuk bersambung. Sayangnya, tidak semua koran mau memuat tulisan bersambung, apalagi jenis opini dan essay.

Antara Koran dan Jurnal

Menutup tulisan ini, saya hendak mengingatkan bahwa menulis opini dan essay sebagai sebuah karangan ilmiah di koran adalah berbeda dengan menulis ilmiah untuk jurnal, makalah, laporan, dan sejenisnya. Kendati sama-sama karya ilmiah, opini dan essay di koran ditulis dengan bahasa yang lebih lepas, tidak tertekan dengan bahasa dan kosa kata baku. Demikian juga pada strukturnya, tidak mengikat harus berjenjang seperti jurnal dan makalah yang mesti dibagi bab per bab. Karena itulah, opini, essay, resensi, atau jenis artikel lainnya, digolongkan menjadi karangan ilmiah populer. Maksudnya, ilmiah dari isi (tens), namun tidak baku terhadap struktur (bagan).

Sekali lagi, meskipun berbeda antara menulis ilmiah di makalah, jurnal, dan sejenisnya, dengan menulis artikel di koran, tetap kegiatan tersebut sama-sama menulis. Bagaimanakah menulis itu? Banyak orang berpendapat bahwa menulis adalah ambil pena dan kertas, duduk, kemudian menuslilah. Di zaman serba modern ini, penulis tidak lagi butuh kertas dan pena, karena sudah ada komputer atau laptop. Menulis hanya tinggal menekan huruf-hurut di keyboard komputer. Jargonnya adalah “Tekan saja huruf-huruf apa yang sedang anda pikirkan, tak perlu berpikir huruf apa yang akan Anda tekan.” (Dimuat di Harian Aceh, 17 Januari 2009).

Herman RN, Alumni PBSID FKIP Unsyiah dan Redaktur Harian Aceh

Satu pemikiran pada “Menulis, Sebuah Judul yang Sedang ‘Digilai’

Tinggalkan Balasan ke hikmah Batalkan balasan