Kefilsafatan Islam dalam Pendidikan

oleh Herman RN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk yang diambil dari kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”).

Selanjutnya, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan ejaan dalam kata-kata Arab, yakni falsafa dengan pola fa’lala, dan fi’lal. Dengan demikian, kata benda dari kata kerja falsafa menjadi falsafah atau filsaf.

Kata falsafah dan filsaf ini kemudian berkembang dalam ujaran Indonesia sehingga kita mendengar adanya ungkapan falsafah dan filsuf. Prof. Dr. Harun Nasition dalam (Arifin, 2008: 3-4) memberi batasan filsafat sebagai:

pengetahuan tentang hikmah,

pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar,

mencari kebenaran, dan

membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas.

Nasution kemudian menyimpulkan bahwa intisari filsafat adalah “Berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.”

Sementara itu, Amri (2003: 9) mengatakan bahwa filsafat itu termasuk ke dalam suatu disiplin ilmu.

“Filsafat adalah suatu ilmu yang membahas atau mempersoalkan tentang segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dalam jagat raya ini secara universal (menyeluruh), sistematis (teratur, setahap demi setahap), dan radikal (sedalam-dalamnya) untuk menemukan kebenaran hakiki atau hikmat tertinggi” (Amri, 2003: 9).

Sebelumnya, beberapa ahli terkemuka di dunia sudah pernah memberikan batasan filsafat menurut pemikirannya masing-masing. Plato mengatakan bahwa filsafat tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles berpendapat bahwa kewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Filsafat dikatakannya bersifat umum sekali. Kant menyebutkan bahwa filsafat merupakan pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan. Fichte berpendapat bahwa fisafat adalah sebagai wissencschaftslehre: ilmu dari ilmu, yakni ilmu umum yang menjadi dasar segala ilmu. Alkindi sebagai ahli pikir pertama dalam filsafat Islam, memberikan pengertian filsafat dalam tiga sudut pandang: ilmu fisika (tinkatan terendah), ilmu matematika (tingkatan tengah), dan ilmu ketuhanan (tingkatan tertinggi). Selanjutnya, Alfarobi mengatakan bahwa filsafat itu merupakan mengetahui segala yang ujud, karena ia ujud (al’ilmu bi al maujudat bima hiya maujudah). Ia mengkategorikan filsafat itu ke dalam ilmu teori dan ilmu praktek: ilmu teori mengetahui yang ada tanpa tuntutan untuk mewujudkannya dalam amal; ilmu praktek sesuatu yang mengharuskan diwujudkan dengan amal. Ibnu Sina juga membagi filsafat ke dalam dua bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama. Dasarnya terdapat dalam syari’at Tuhan, yang penjelasan dan kelengkapannya diperoleh dengan tenaga akal manusia (Arifin, 2008: 4-5).

Bertolak dari beberapa batasan tersebut, lahirlah kemudian beberapa istilah dan pembagian filsafat secara umum, yakni fisalfat umum, filsafat pendidikan, dan filsafat islam. Dalam tulisan ini, kita hanya membahas filsafat pendidikan dan filsafat islam yang diselaraskan pembahasannya sehingga diambil sebuah tema “Kefilsafatan Islam dan Pendidikan”.

1.2 Islam dan Pendidikan

Islam merupakan agama yang dibawa oleh nabi akhir zaman Muhammad saw. Islam menjadi agama yang menyempurnakan agama-agama lain. Hal ini termaktub dalam kitab suci Alquran yang diturunkan Allah swt. melalui Rasululllah saw. Islam kemudian mengajarkan manusia segala aspek tentang kehidupan di bumi dan di langit sehingga ia dapat menjadi sebuah pendidikan, di samping sebagai sebuah agama. Maka lahirlah kemudian istilah pendidikan islam.

1.2.1 Arti, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Islam

Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan (Arfin, 2008: 150). Dengan demikian, bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya tetap berlangsung proses pendidikan.

Barnadib dalam Studi Filsafat Pendidikan (Amri, 2003: 12) mengatakan bahwa filsafat pendidikan mengadakan kajian yang luas mengenai realita. Oleh karena itu, filsafat pendidikan islam mengkaji antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup.

Sumber-sumber filsafat pendidikan islam berisi informasi dasar kewahyuan (revelatif) yang telah tersedia di dalam kitab suci Al-quran. Dalam Alquran tertera semua implikasi kependidikan. Informasi dalam Alquran ini kemudian diperkaya dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Karena itu, pendidikan Islam harus mampu memanivestasikan makna hakiki dari cara hidup secara Islam (Islamic way of life). Karena itu, pendidikan berlangsung melalui aktivitas.

Sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, pendidikan Islam memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Landasan utama pendidikan Islam adalah Alquran dan Alhadis. Sementara itu, tujuan pendidikan itu sendiri merupakan sebuah cita-cita untuk menciptakan suasana ideal yang ingin diwujudkan.

Profesor Mohammad Athiyah Al Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan asasi pendidikan Islam, seperi dikutip Arifin (2008: 164).

1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam telah menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam sehingga mencapai akhlak yang sempurna menjadi tujuan pendidikan sebenarnya.

2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya segi keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya langsung. Pendidikan Islam memandang persiapan untuk keduanya sebagai tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan.

3. Menumbuhkan ruh ilmiah (Scientific Spirit) pada pelajaran dan memuaskan keinginan hati untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai ilmu.

4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu, dan perusahaan tertentu, supaya dapat mencari rezeki dalam kehidupan, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan tidak semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spritual semata, tetapi juga menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitas.

1.2.2 Konsep Islam tentang Pendidikan

Sebagia orang mencoba memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Mereka memilah-milah antara ilmu kauniyah (alam semesta) dengan wahyu. Padahal, dalam pandangan islam keduanya merupakan satu kesatuan. Kebenaran dalam semesta dikonfirmasikan lewat wahyu. Demikian sebaliknya, kebenaran wahyu dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada di semesta, karena memang bersumber dari Yang Satu, yaitu Allah swt.

Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat Alquran yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia di samping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam Alqur’an, kata ilmu dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Alqur’an sangat kental dengan nuansa yang berkaitan dengan ilmu sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam. Hal ini sebagamana dikemukakan Dr Mahadi Ghulsyani (1995: 39).

‘’Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Alquran dan Assunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi.’’

Hal lain yang menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi pendidikan terlihat dalam firman Allah swt. pada Surat Al-Mujadalah ayat 11, yang artinya: “ALLah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan). Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”


BAB II PEMBAHASAN

KEFILSAFATAN ISLAM DALAM PENDIDIKAN

2.1 Mengapa Filsafat Islam?

Mulanya beberapa ahli tidak sepakat menyebutkan nama “Filsafat Islam” saat mengkaji sejarah filsafat yang dipopulerkan bangsa Arab dari bahasa Yunani. Hal ini sempat menimbulkan pro kontra antara pemikir yang sepakat memberi nama “Filsafat Islam” dengan pemikir yang tidak sepakat.

Dalam buku “Filsafat Islam” yang disusun beberapa tenaga pengajar IAIN Ar-Raniry disebutkan bahwa ada tiga alasan para pemikir tidak sepakat melabelkan nama “Filsafat Islam”.

Pertama : nama “Filsafat Arab” dirasa lebih tepat untuk penelitian fisafat jenis ini, karena penelitian dan penyelidikan yang dilakukan terhadap buku-buku berbahasa Arab dan bahasa yang digunakan pun bahasa Arab. Pendapat ini dikemukan oleh Maurice de Wulf. Menurut dia, nama “Islam” tidak cocok karena mengharuskan orang untuk menelaah buku-buku dalam bahasa selain Arab, misalnya Urdu, Parsi, dan sebagainya.

Kedua : kalau berbicara mengenai “Filsafat Khusus Islam”, orang diharuskan mengeluarkan pendapat pemikir-pemikir selain yang beragama Islam, sedangkan di Arab banyak juga penganut agama lain selain Islam, seperti Majusi, Nasrani, Yahudi, Shabiah, dan orang-orang Pagtu.

Ketiga : sejarah, termasuk sejarah Arab, lebih tua dari usia Islam. Islam diakui lahir di kalangan bangsa Arab yang disebarluaskan oleh penduduk Arab. Maka, seluruh kebudayaan yang berada di bawah pengaruh sejarah bangsa ini mesti diberi predikat “Arab”, termasuk filsafatnya.

Masih dalam buku yang sama, disebutkan pula beberapa alasan pemikir membuat nama “Filsafat Islam” harus ada.

Pertama : bahwa filsafat Islam sejak dulu kala telah mempunyai nama yang diberikan oleh tokoh-tokohnya, seperti Al-Faraby, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain dengan nama “Filsafat Islam” sehingga terkenal juga nama-nama “Ahli Filsafat Islam”.

Kedua : islam bukan sekedar agama, tetapi juga kebudayaan dan peradaban. Sejak lahir, ia telah menjadi kekuatan politik mempersatukan pelbagai suku bangsa menjadi suatu umat imperium (khalifah) Islam. Selain itu, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai filsuf islam belum tentu berbangsa Arab, seperti Al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. Karena itu, nama “Islam” lebih mencakup daripada nama “Arab”.

Ketiga : diberi nama “Filsafat Islam” karena filsafat ini tidak mungkin terbina tanpa adanya wadah yang dinamakan daulah islamiah. Pembahasannya pun adalah persoalan islam di segala lini, bukan hanya persoalan bangsa Arab semata. Karenanya, lebih cocok diberi nama “Filsafat Islam” daripada “Filsafat Arab”.

Timbulnya nama filsafat islam dari benih-benih filsafat yang dimulai sejak datangnya datangnya dorongan dari Alquran, antara lain Surat Al-Ghasyiyah: 17-20. Dalam surat ini dianjurkan kepada umat manusia untuk menjelajahi alam semesta sebagai sebuah ilmu dan pendidikan.

“Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Bumi bagaimana dihamparkan?” (Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20)

2.2 Sistem Filsafat Islam dalam Pendidikan

Perkembangan filsafat dalam dunia Islam tampak nyata setelah umat Islam—bangsa Arab pada masa itu—berkomunikasi dengan duia sekitar. Perkembangan filsafat tersebut dipercepat olehkaum muslimin dengan adanya usaha-usaha penerjemahan berbagai macam buku ilmu pengetahuan, terutama filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

Di antara ciri khusus filsafat dalam Islam adalah penggunaan Alquran sebagai landasan berpikir dan pembimbing bagi kegiatan berfilsafat. Dalam Alquran tersebar ayat-ayat yang memerintahkan, mendorong, serta membimbing umat Islam bertafakkur, bertafakkuh, menggunakan ra’ayu, mengadakan penyelidikan, penelitian, dan sebagainya.

Secara konkret dan praktis, kegiatan filsafat dalam dunia Islam bermula dan tampak dalam sistem pengambilan kebijakan dengan jalan ijtihad. Ijtihad adalah usaha untuk mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan dengan menggunaka segenap daya akala pikiran serta potensi-potensi manusiawi lainnya. Sistem ijtihad inilah yang menjadi dasar-dasar epistemologi dalam filsafat Islam, yang kemudian dalam perkembangannya menimbulkan berbagai macam aliran pemikiran filsafati dalam dunia Islam (Arifin, 2008: 110).

Sistem Filsafati dalam Tasawuf

Pada umumnya ajaran Tasawuf berdasarkan pada pandangan filsafat bahwa alam merupakan pancaran Tuhan. Puncak pancaran tersebut adalah manusia (filsafat emanasi). Dalam istilah tasawuf, proses pemancaran Tuhan terahadap alam disebut proses tajalli. Manusia merupakan puncak tajalli. Dalam ajaran tasawuf, manusia diajarkan tiga tingkat untuk mengenal puncak taraqqi, yakni tharikat (jalan yang harus ditempuh seorang sufi), hakikat (tidak terikat dengan keduniaan), ma’rifat (tahu dan melihat Allah dalam segalam hal) (Arifin, 2008: 115).

Sistem Falsafati pada Fuqaha

Para fuqaha, dalam usahanya untuk mengenal dan memahmi hakikat syariat Islam dan menetapkan hukum-hukum syariat secara terperinci, telah merumuskan suatu sistem berpikir yang khas. Hal ini sebagaimana tampak dalam usuh fiqh, yakni penjabaran dari sistem ijtihad yang telah ada dalam sunnah nabi dan dipraktekkan secara nyata oleh para sahabat.

Sistem Falsafati dalam Ilmu Pengetahuan

Sistem ilmu pengetahuan dalam Islam tidak terlepas dari masa jayanya terhadap pengaruh filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran tentang alam. Sebagaimana diketahui, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan, telah berkembang dan bercabang menurut objeknya masing-masing.

Henry Margenan dan David Bergamini dalam “The Scientist” sebagaimana dikutip Arifin (2008: 118-119) menyebutkan beberapa cabang ilmu pengetahuan.

Ø Bidang Matematika: teori bilangan, aljabar, geometri, analit, trigonometri

Ø Bidang Fisika: mekanika, optika

Ø Bidang Kimia: Al Kimia

Ø Bidang Astronomi: mekanika benda langit

Ø Bidang Geologi: geodesi, mineralogi, meteorologi

Ø Bidang Biologi: phisiologi, anatomi, botani dan zoologi, embriologi, pathologi

Ø Bidang Sosial: politik


2.3 Filsafat Pendidikan Islam

Seperti telah dijelaskan di atas, Islam sebagai suatu agama, memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna serta komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia, termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan.

Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Alqur’an dan Assunnah. Sebagai sumber ajaran, Alqur’an telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.

Demikian pula dengan Alhadist, sebagai sumber ajaran Islam, ia diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad saw. telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education). Hal ini jelas memperlihatkan bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Alqur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh Alqur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

Perkembangan filsafat (pemikiran filsafati) dalam dunia Islam telah menjawab segenap persoalan dan memberikan alternatif atas segala problem dalam kehidupan manusia. Ia memberitahukan tentang Tuhan dan ketuhanan, keyakinan dan kepercayaan hidup, serta berbagai ilmu kalam sehingga adanya berbagai ilmu dalam Islam, seperti ilmu tasawuf, akhlak, fiqh, faraizh, dan sebagainya.

Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah kependidikan. Filsafat pendidikan Islam juga menjawab pengaruh kependidikan terhadap perkembangan dan pertumbuhan manusia muslim dan umat Islam pada umumnya. Filsafat pendidikan Islam dapat pula menjadi semacam jalan pemecahan berbagai persoalan dalam pendidikan umat Islam. Karena itu, filsafat pendidikan Islam bersifat tradisional dan kritis, serta radikal, sesuai dengan maksud filsafat itu sendiri.

DAFTAR RUJUKAN

Amri, Amsal. 2003. Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.

Ardi, Sucipto. Filsafat Ilmu dan Perkembangannnya di Indonesia: suatu Pengantar. http://suciptoardi.wordpress.com (online). Diakses 24 November 2008

Arifin, Muzayyin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Ar-Raniry. 1982/1983. Pengantar Filsafat Islam. Banda Aceh.

http://udhiexz.wordpress.com/2007/12/30/10/ (online). Filsafat Pendidikan Islam. Diakses 24 November 2008.

4 pemikiran pada “Kefilsafatan Islam dalam Pendidikan

  1. trima kasih atas tulisanya dan semoga cita cita dan keinginan Anda tercapai dan menjadikan pendidikan sebagai suatau gebrakan yang dasyat melebihi bom Atomm.

  2. […] Kefilsafatan Islam Dalam Pendidikan « Suara Tinta Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya segi keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya langsung. Pendidikan Islam memandang persiapan untuk keduanya sebagai tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan. 3. Menumbuhkan ruh ilmiah (Scientific …. Para fuqaha, dalam usahanya untuk mengenal dan memahmi hakikat syariat Islam dan menetapkan hukum-hukum syariat secara terperinci, telah merumuskan suatu sistem berpikir yang khas. … Sumber: https://lidahtinta.wordpress.com/2009/04/10/kefilsafatan-islam-dalam-pendidikan/ […]

Tinggalkan Balasan ke Abdul Wahab Batalkan balasan