MENULIS; Gampang atau susah

Oleh; Herman RN

Lukisan“Menulis…? Susah banget!”

Setidaknya, kalimat itu selalu muncul di setiap penulis pemula. Itu pula yang sering saya dengar dari teman-teman ketika diminta untuk menuliskan sesuatu. Entah itu ketika di kampus, atau di mana saja.

Memang, banyak orang berasumsi bahwa menulis itu susah, terutama bagi mereka yang baru saja memulai dunia tulis-menulis. Mungkin ini pula yang menyebabkan negara kita kemiskinan penulis regenerasi. Terbukti hingga kini Indonesia belum memiliki “penulis dunia.” Hanya seorang Pramoedia Ananta Toer yang memeliki nama di Internasional. Namun, dia bukan penyair. Hanya seorang penulis roman sejarah, lantas kemana Indonesia yang diangung-agungkan ke-sastrawanannya? Yang katanya sudah lahir sejak beberapa abad lalu dengan beragam periodesasi?

Banyak hal yang membuat seseorang itu merasa tidak yakin dengan hasil karyanya, meski di antara mereka sebenarnya banyak tersimpan memori yang tak kalah menarik dengan penulis yang sudah jadi. Rasa percaya diri yang kurang mapan membuat mereka tidak yakin dengan diri sendiri dan hasil kerjanya. Akhirnya mereka berhenti sebelum mencoba. Mereka merasa tulisannya masih belum sempurna, malu dengan Penulis yang telah jadi.

Pada prinsipnya di dunia ini semuanya butuh proses. Tak ada kejadian tanpa melewati proses, entah proses itu yang kontinyu atau tidak. Hanya kekuasaan Tuhanlah yang tak memerlukan proses.

Rasa kurang percaya pada hasil cipta sendiri tadi menjerumuskan mereka pada menciplak karya orang lain, akhirnya predikat Plagiator pun tersandang di namanya. Memang tak salah ketika kita menyukai sebuah tulisan orang, gayanya bercerita, atau sebagainya. Namun itu hanya sebagai pemula buat meneruskan langkah berikutnya. Dan bukan menciplak sepenuhnya, hanya mencontoh gayanya. Itu hanya dijadikan buat mencari jati diri. Selanjutnya temukanlah orisinilitas dalam pribadi sendiri. Karena Plagiat itu “haram” hukumnya. Menciptakan orisinilitas pribadi dalam sebuah karya sangat sulit tergantikan di meja sastra.

Penyebab lain yang membuat kurangnya Penulis di daerah ini karena anggapan terhadap Media (Koran atau Majalah). Seringkali orang menjadikan Koran sebagai tolak ukur sebagai penentu layak tidaknya seseorang itu dikatakan Penulis. Anggapan dasar bahwa pabila tulisannya sudah dimuat di Koran, (sekurang-kurangnya koran lokal) barulah ia diakui sebagai penulis. Hal ini cenderung membuat orang pesimis terhadap hasil karya sendiri. Ketika hasil karyanya tidak dimuat, padahal sudah beberapa kali mengirim ke koran, ia merasa tidak pantas untuk jadi penulis. Dan akhirnya ia berhenti menulis. Pesimisme membuat ide tercampakan begitu saja.

Mengutip pendapat Idrus yang mengatakan “Banyak jalan menuju Rhoma,” saya merasa banyak jalan menjadi penulis. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan predikat Penulis itu. Misalkan saja dengan mempublikasikan hasil tulisan kita itu (apakah itu fiksi atau nonfiksi). Apakah di majalah dinding (mading) atau kepada teman. Lantas minta pendapat teman kita itu. Jangan takut dikritik. Jadikan kritikan itu sebagai movipasi untuk memperbaiki hasil karya kita itu ke depan. Sesekali minta pendapat guru, atau orang yang memang sudah ahli di bidang yang kita tulis itu, minta masukan darinya.

Semua bisa dilakukan dalam memulai dunia kepenulisan. Bisa berawal dari menulis buku Harian. Mencatat semua kejadian yang kita alami sehari-hari. Lalu tulisan-tulisan itu kita bukukan menjadi sebuah buku yang indah untuk dibaca. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami. Misalkan dengan menghindari kepuitisan ketika hanya menulis sebuah laporan perjalanan atau opini.

Kenyataannya banyak penulis besar ternama yang berawal dari buku Harian. Soe Hoggie misalnya yang mengawali kariernya sebagai penulis sekaligus membuat Film beranjak dari buku Harian (Memoar). Tentunya masih banyak lagi penulis lain yang beranjak dari memoar atau diary. Artinya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menjadi Penulis.

Kejadian-kejadian yang kita alami sehari-hari bisa dijadikan sebuah tulisan, tergantung kita mau menulisnya dalam bentuk apa. Misalkan kejadian tabrakan, pemboman, pencurian, korupsi, kebakaran, dan fenomena-fenomena alam lainnya, semua bisa kita tuliskan dalam bentuk apa saja. Sutardji Calzoum Bahri–presiden penyair Indonesia pernah berkata, menu masakan di Restoran pun dapat dijadikan puisi (kebetulan Tardji dan kawan-kawan waktu itu sedang berada di Restoran Taman Ismail Marzuki). Ketika itu Tardji meminta Simbolon untuk membacakan menu masakan mereka, maka mengalirlah tawa dan saling mengangguk bahwa betul lah apa yang baru saja dikatakan presiden Penyair itu. Namun demikian, tidak selamanya perkataan seorang Presiden itu betul seluruhnya, karena Presiden bukanlah Tuhan yang berfiman. Semuanya tergantung pada kita.

Sanggahan lain tentang menulis itu susah juga sudah diutarakan Arswendo Atmawiloto dalam bukunya yang diterbitkan 20 tahun silam. Arswendo mengatakan, “Mengarang itu gampang”. Jika Tidak percaya? Baca saja buku yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Jakarta 1984 lalu.

Pada prinsipnya untuk menjadi sesuatu itu butuh proses. Tidak mungkin seseorang langsung menjadi seorang Penulis jika tidak ia mulai dari mencoba dan mencoba. Inilah yang dikatakan proses. Hanya saja ada yang mengalami proses yang panjang dan ada yang langsung jadi. Pramoedia Anantatoer saja ketika mengawali karirnya di bidang menulis mendapat ejekan dari orang lain. Ketika itu Idrus pernah berkata pada Pram, “Kamu berak atau nulis?”. Namun Pram menjadikan ejekan itu sebagai motivasi dan ia malah menganggap Idrus sebagai guru yang membuatnya harus lebih optimis. Pramoedia menjadikan ejekan Idrus sebagai tantangan sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia ‘menulis’ bukan ‘berak’.

Jadi, disini saya mau mengatakan bahwa sesuatu itu harus penuh tantangan, sebab hidup ini sendiri adalah tantangan. Ketika tulisan kita tidak dihargai di suatu tempat maka mintalah penilaian ke tempat lain pula. Jika tidak dimuat dikoran pada pengiriman pertama, kedua, ketiga, kirimlah terus keselanjutnya hingga suatu ketika karya kita dimuat. Jangan pernah merasa bosan. Dan ketika dimuat pada kali pertama, janganlah pernah merasa cukup. Cobalah keselanjutnya terus. Karena dunia kepenulisan tak pernah berakhir. Jika ada masukan dan kritikan yang masuk, hargailah ia meski pedas. Sebab kebiasaanya sebuah kritikan bisa dijadikan pukulan untuk maju. Jadikan ia sebagai tantangan yang akan memotivasi kita untuk dapat membuktikan diri kita sendiri.

Sekali lagi saya katakan Koran bukan satu-satunya dinding yang harus kita tembus menjadi seorang Penulis. Seperti yang saya katakan, bisa mengawalinya di majalah dinding (mading), apakah itu madding sekolah/ kampus, madding pribadi, atau semacamnya. Atau cara lain bisa langsung bekerjasama dengan badan penerbit untuk menerbitkan buku hasil karya kita. Tentunya setelah penilaian tulisan itu layak terbit.

Pebanyakalah membaca karena banyak membaca kita jadi banyak tahu. Banyak tahu banyak pula yang akan kita jadikan dalam sebuah tulisan. Ibarat gelas kosong, ketika diisi air yang banyak ia akan meluah ke luar. Begitu juga dengan membaca, jika kita banyak membaca, semuanya padat di kepala, dengan sendirinya ia akan minta untuk ditumpahkan juga.

Maka mulailah dari dini, mulai menulis dan terus menulis, karena menulis merupakan kegiatan mengingat dan mengingatkan. Ingat senang dan ingat susah, mengingatkan diri sendiri dan mengingatkan orang lain. Mengingat yang telah pergi dan mengingat yang akan datang, juga bisa mengingatkan “peradapan pemerintah”.

Banda Aceh, 2005-2006

Herman RN. Lahir, Aceh Selatan, April 1983.

Alumni Sekolah menulis ‘Dokarim’

Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.

7 pemikiran pada “MENULIS; Gampang atau susah

  1. berbica sebuah kegampangan, maka lihatlah apa yang dikatakan oleh Sutardji Calzoum Bahri yang terdapat dalam buku kumpulan esai-nya “Isyarat”

    Ketika menulis puisi atau karya sastra lainnya bukan berarti sedang menulis di atas kertas kosong. Melainkan menulis di atas tulisan. Alam, sejarah, ihwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi, engkau menulis di atasnya. Dan karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.

    Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang berbeda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu.

    Di saat lain engkau bukan sekedar menusir, bahkan lebih ekstrim engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang kau sedang beraneh-aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.

    Salam,

    Akmal MR
    http://aamovi.wordpress.com

  2. Dari berbagai sumber kita dapati berbagai istilah untuk menamakan jenis atau tipe makna. Pateda (1986), misalnya, secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Ada istilah yang berbeda untuk maksud yang sama atau hampir sama, tetapi ada pula istilah yang sama untuk maksud yang berbeda-beda. Sedangkan Leech (1976) yang karyanya banyak dikutip orang dalam studi semantik membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makra stilistika, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna kolokatif, dan (7) makna tematik. Dengan catatan makna konotatif, stilistika, afektif, reflektif, dan kolokatif masuk dalam kelompok yang lebih besar yaitu makna asosiatif.

    BAB II
    MAKNA LEKSIKAL DAN MAKNA
    GRAMATIKAL

    Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Tetapi dalam kalimat Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia, yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.
    Contoh lain, kata kepala dalam kalimat Kepalanya hancur kena pecahan granat adalah dalam makna leksikal, tetapi dalam kalimat Rapornya ditahan kepala sekolah karena ia belum membayar uang SPP adalah bukan bermakna leksikal. Kata memetik dalam kalimat Ibu memetik sekuntum mawar adalah bermakna leksikal, sedangkan dalam kalimat Kita dapat memetik manfaat dari cerita itu adalah bukan bermakna leksikal.

    BAB III
    MAKNA REFERENSIAL DAN
    NON-REFERENSIAL

    Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dan kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonrefererisial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan ‘kursi”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
    Dapat disimak bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial; dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial.
    Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya, tidak mempunyai referen, maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas. Lalu, karena hanya memiliki fungsi atau tugas, maka dinamailah kata-kata tersebut dengan nama kata fungsi atau kata tugas. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferensial. Mempunyai makna, tetapi tidak memiliki referen.
    Di sini perlu dicatat adanya kata-kata yang referennya tidak tetap. Dapat berpindah dari satu rujukan kepada rujukan lain, atau juga dapat berubah ukurannya. Kata-kata yang seperti ini disebut kata-kata deiktis. Misalnya kata ganti aku dan kamu. Kedua kata ini (dan juga kata ganti yang lain) mempunyai rujukan yang berpindah-pindah, dari persona yang satu kepada persona yang lain.

    BAB IV
    MAKNA DENOTATIF DAN KONOTATIF

    Pembedaan makna Denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” (istilah dari Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
    Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.
    Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kongnitif karena dilihat dan sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-inforrnasi faktual objektif. Lalu karena itu maka denotasi sering disebut sebagai “makna sebenamya” Umpamanya kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’. begitu juga kata gadis dan perawan; kata istri dan bini. Kata gadis dan perawan memiliki makna denotasi yang sama, yaitu ‘wanita yang belum bersuami atau belum pernah bersetubuh’; sedangkan kata istri dan bini memiliki makna denotasi yang sama, yaitu ‘wanita yang mempunyai suami’.
    Walaupun kata perempuan dan wanita mempunyai makna denotasi yang sama tetapi dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata perempuan mempunyai nilai rasa yang “rendah” sedangkan kata wanita mempunyai nilai rasa yang “tinggi”. Jadi, kata perempuan memiliki nilai rasa yang lebih rendah dari kata wanita. Ini terbukti dari tidak digunakannya kata perempuan itu dalam berbagai nama organisasi atau lembaga. Organisasi atau lembaga itu selalu menggunakan kata wanita, misalnya Dharma wanita, gedung wanita, menteri urusan peranan wanita, dan Ikatan Wanita Pengusaha.

    BAB V
    MAKNA KATA DAN MAKNA ISTILAH

    Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.
    Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan. Apa makna kata tahanan? mungkin saja yang dimaksud dengan tahanan itu adalah orang yang ditahan, tetapi bisa juga ‘hasil perbuatan menahan’, atau mungkin makna yang lainnya lagi. Begitu juga dengan kata air. Apa yang dimaksud dengan air itu? Apakah air yang berada di sumur? di gelas? atau di bak mandi? atau yang turun dan langit? Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya.
    Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Misalnya, kata tahanan di atas. Sebagai kata, makna kata tahanan masih bersifat umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna kata tahanan itu sudah pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara. Sebagai istilah dalam bidang kelistrikan kata tahanan itu bermakna daya yang menahan arus listrik. Contoh lain, kata akomodasi sebagai istilah dalam bidang kepariwisataan mempunyai makna atau berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas penginapan dan tempat makan. Sebagai istilah dalam bidang optik kata akomodasi itu bernakna ‘penyesuaian lensa dengan cahaya’. Namun, karena frekuensi penggunaan kata akomodasi sebagai istilah bidang pariwisata lebih tinggi dari pada dalam bidang perlistrikan, maka masyarakat umum lebih mengenal kata akomodasi sebagai istilah bidang pariwisata itu.
    Memang banyak istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum karena frekuensi pemakaiannya dalam bahasa umum, bahasa sehari-hari cukup tinggi. Istilah yang sudah menjadi unsur leksikal bahasa umum itu disebut istilah umum. Contoh istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum, antara lain akomodasi, deposito, giro, importir, anggaran belanja, segitiga, suaka politik, pakar, canggih, mantan, kondom, dan muntaber. Tetapi kata-kata seperti debit, klorofil, vektor, variabel, hepatitis, dan ampuls masih tetap sebagai istilah yang penggunaannya terbatas pada bidang ilmu yang bersangkutan.
    Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran, misalnya, kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah dari pergelangan sampai ke jari-jari; sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan tangan dianggap bersinonim, sama maknanya. Begitu juga dengan pasangan kata kaki dangan tungkai, telinga dan kuping yang dalam bahasa umum dianggap bersinonim, tetapi sebagai istilah kedokteran diperbedakan maknanya. Kaki adalah bagian dari mata kaki sampai ujung jari sedangkan tungkai adalah bagian dari mata kaki sampai pangkal paha. Begitu juga telinga adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan kuping adalah bagian luarnya.

    BAB VI
    MAKNA KONSEPTUAL DAN MAKNA ASOSIATIF

    Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (l977) malah membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.
    Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’, atau ‘kesucian’; kata merah berasosiasi dengan makna ‘berani’, atau juga ‘dengan golongan komunis’; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna ‘indah’.
    Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang ‘kesucian’; merah digunakan sebagai perlambang ‘keberanian’ (dan dalam dunia politik digunakan sebagai lambang golongan komunis); dan Srikandi digunakan sebagai perlambang ‘kepalawanan wanita’. Karena makna asosiasi ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna konotatif seperti yang sudah dibicarakan di atas. Di samping itu ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika makna afektif, dan makna kolokatif (Leech, 1976).
    Makna stiliska berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Karena itulah, dibedakan makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman, tempat tinggal, dan residensi. Begitu juga dibedakan makna kata guru, dosen, pengajar, dan instruktur. Coba anda pikirkan di mana letak perbedaan makna stilistiknya itu!
    Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun terhadap obyek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisan daripada secara tertulis. Perhatikan contoh berikut!;
    – “Tutup mulut kalian!” bentaknya kepada kami.
    – “Coba, mohon diam sebentar!” katanya kepada anak-anak itu.

    Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase (ko=sama, bersama; lokasi = tempat). Misalnya, kita dapat mengatakan gadis itu cantik; bunga itu indah; dan pemuda itu tampan. Tetapi kita tidak dapat mengatakan *gadis itu tampan; *bunga itu molek*, dan *pemuda itu cantik*. Kita lihat walaupun cantik, indah, tampan, dan molek mempunyai “makna” yang sama, tetapi masing-masing terikat dengan kata-kata tertentu dalam suatu frase. Demikian juga dengan kata laju, deras, kencang, cepat, dan lancar yang mempunyai makna yang sama, tetapi pasti mempunyai kolokasi yang berbeda. Kita bisa mengatakan hujan deras, dan berlari dengan cepat, namun tidak bisa sebaliknya *hujan cepat, dan *berlari dengan deras*.
    Kalau kita kembali kepada teori Verhaar tentang makna, informasi dan maksud yang dibicarakan di muka kata-kata laju, deras, kencang, cepat, dan lancar memang bersinonim; tetapi maknanya tidak sama karena bentuknya sudah berbeda. Yang sama adalah informasinya. Begitu pula dengan cantik, indah, tampan, dan molek. Maknanya juga tidak sama. Yang sama hanyalah informasinya saja. Coba Anda cari lagi kata-kata lain masing-masing terikat dengan kata-kata lain yang merupakan “lokasinya”.

    Untuk dapat memahami yang dimaksud dengan makna idiomatikal, kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Yang dimaksud dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dan makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya, menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Tetapi kata kemaluan tidak memiliki makna seperti itu. Begitu juga frase rumah kayu bermakna ‘rumah yang terbuat dari kayu’; tetapi frase rumah batu selain bermakna gramatikal ‘rumah yang terbuat dari batu’, juga memiliki makna lain yaitu ‘pegadaian’ atau ‘rumah gadai’. Contoh lain frase menjual sepeda bermakna si pembeli menerima sepeda dan si penjual menerima uang; frase menjual rumah bermakna ‘si pembeli menerima rumah dan si penjual menerima uang’; tetapi konstruksi menjual gigi bukan bermakna Si pembeli menerima gigi dan si penjual menerima uang’; melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’.
    Jadi dalam contoh di atas kata kemaluan dan frase menjual gigi dalam bahasa Indonesia dewasa ini tidak memiliki makna gramatikal, melainkan hanya memiliki makna idiomatikal. Begitu juga dengan frase rumah batu, meja hijau, dan membanting tulang.
    Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Jadi, menjual gigi adalah sebuah leksem dengan makna ‘tertawa keras-keras’, membanting tulang adalah sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan meja hijau adalah sebuah leksem dengan makna ‘pengadilan’.
    Perlu diketahui juga adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: Idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, seperti yang sudah kita lihat pada contoh membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau di atas. Sedang pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/ dianggap bersalah’, koran kuning yang berarti koran yang seringkali memuat berita sensasi’, dan menunjukkan gigi yang berarti ‘menunjukkan kekuasaan’. Kata daftar, koran, dan menunjukkan pada idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikal; yaitu ‘daftar’, ‘koran’, dan ‘menunjukkan’, yang bermakna idiomatikal hanyalah kata-kata hitam, kuning, dan gigi dan idiom-idiom tersebut.
    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan lain selain mencarinya di dalam kamus.
    Barangkali di sini perlu diberi sedikit penjelasan mengenai penggunaan istilah idiom, ungkapan, dan metafora. Ketiga istilah ini sebenarnya mencakup objek pembicaraan yang kurang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang berlainan. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu “menyimpangnya” makna idiom ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan paling kena. Sedangkan metafora dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari yang lain umpamanya matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang, bukan dikatakan sebagai putri malam, dan pahlawan sebagai bunga bangsa. Jika dilihat dari segi makna, maka raja siang, putri malam, dan bunga bangsa adalah termasuk contoh idiom. Jika dilihat dari segi ekspresi maka ketiganya juga termasuk contoh ungkapan; dan jika dilihat dari segi adanya perbandingan maka ketiganya juga termasuk metafora.

    Dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJ. S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dan arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, anti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ‘bulan’, raja siang dalam anti ‘matahari’, daki dunia dalam arti ‘harta, uang’, membanting tulang dalam arti ‘bekerja keras’, kapal padang pasir dalam arti ‘unta’, pencakar langit dalam arti ‘gedung bertingkat tinggi’, dan kata bunga dalam kalimat Aminah adalah bunga di desa kami dalam arti ‘gadis cantik’, semuanya mempunyai arti kiasan.
    Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang dipacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan. Gadis cantik disamakan dengan bunga; matahari yang menyinari bumi pada siang hari disamakan dengan raja dan sebagainya.
    Bagaimana dengan tamu yang tidak diundang dalam arti ‘maling’ dan sipantat kuning dalam anti ‘kikir’ ? Tamu yang tidak diundang dapat dikatakan memiliki arti kiasan: tetapi sipantat kuning tidak memiliki arti kias karena tidak ada yang dikiaskan.

    Dari berbagai sumber kita dapati berbagai istilah untuk menamakan jenis atau tipe makna. Pateda (1986), misalnya, secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Ada istilah yang berbeda untuk maksud yang sama atau hampir sama, tetapi ada pula istilah yang sama untuk maksud yang berbeda-beda.
    Makalah Semantik (PBSID)
    Dapat disimak bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial; dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial.
    Perlu diketahui juga adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: Idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, seperti yang sudah kita lihat pada contoh membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau di atas. Sedang pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap bersalah’, koran kuning yang berarti koran yang seringkali memuat berita sensasi’, dan menunjukkan gigi yang berarti ‘menunjukkan kekuasaan’. Kata daftar, koran, dan menunjukkan pada idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikal; yaitu ‘daftar’, ‘koran’, dan ‘menunjukkan’, yang bermakna idiomatikal hanyalah kata-kata hitam, kuning, dan gigi dan idiom-idiom tersebut.

    Makalah Semantik (PBSID)

    J E N I S M A K N A

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
    UNIVERSITAS SYIAH KUALA
    DARUSSALAM, BANDA ACEH
    2007

  3. ^^^
    para penulis pada ngomong nih di atas…

    intinya kejayaan menjadi penulis dengan majunya teknologi bukan hal yang susah dalam menulis (hidup indah dengan lahirnya mesin blog dengan kata lain kita sebagai blogger) siapa pun dia bisa.

    menulis indah di tangan kita, apapun cerita semua bisa lewat sentuhan dunia yang satu ini (cyber) selain isi dunia yang fana kita pijak sekarang ini.

  4. Menulis itu mudah. Ia hanya membutuhkan latihan dan sedikit teknik. Saya menyarankan Anda membaca Fifty Writing Tools karangan Roy Peter Clark, pelatih menulis dunia dari Poynter Institute di California. Saya ada bukunya. Bila ada yang berminat, saya dapat kirim ke email Anda.

    Dan satu lagi! Justru di jaman sekarang ini banyak penulis Indonesia yang (bagi saya) jauh lebih hebat dari sekedar Pramoedia Ananta Toer. Mereka juga go International. Coba ingat-ingat penulis dan wartawan macam Andreas Harsono, Linda Christanty, atau blogger seperti Fatih Syuhud. Mereka hebat!

  5. saya pengen tau apa perbedaan antara makna intensi, denotatif.
    dan bagaimana cara kita menentukan apakah makna itu termasuk kategori intensi atau denotatif, atau yang lainnya. pleassssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss

Tinggalkan Balasan ke edi mizwar Batalkan balasan