Merdeka!!!

Oleh Herman RN

Salam pada langit yang kita junjung; menampung segala suara

Salam pada bumi yang kita jejak; permadani perak tanah manusia

Sambutlah salam kami; salam sepuluh jari di atas kepala

Pembaca yang budiman (berbudi dan beriman), sengaja kami buka cang panah kali ini dengan sebuah sajak Fikar W. Eda, sebagai pertanda damai masih kita suka. Kendati membaca judul kelakar ini sedikit “aneh” barangkali bagi sebagian orang. Namun, inilah adanya: kita adalah bangsa yang merdeka.

Tak ada lagi larangan untuk menjenguk kampung halaman, tak ada lagi larangan berbentuk pembungkaman, dan kita percaya itu, karena kita adalah orang-orang yang menghargai janji dan perdamaian. Maka sangat aneh, jika ada orang yang melarang teriakan yel-yel kemerdekaan bagi bangsa ini.

Pernah memang suatu kali terjadi menimpa seorang mahasiswa di negeri ini. Kala itu suasana masih didominasi oleh suara bedil dan beragam letusan. Banyak razia dan sweping dadakan di kampung ini. Si mahasiswa malang yang takut mengakui bahwa negara ini sudah merdeka harus menerima lars dari berpasang kaki perkasa dan popor senjata.

Begini ceritanya: dalam sebuah sweeping, si mahasiswa ditanya, “Apakah Aceh sudah merdeka?” Si mahasiswa–sebuat saja Amat Bangai—menjawab belum. Anggapannya karena saat itu masih ada orang berperang. Amat Bangai itu langsung dipisah dari barisan teman-temannya. Singkat cerita, dia dapat bogem mentah, popor senjata, dan tumit sepatu.

Tentu saja itu berlaku, sebab Aceh sudah ditetapkan sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini sejak 17 Agustus 1945. Maka dari itu, sebuah kewajaranlah jika orang-orang berteriak “merdeka”. Namun, apalacur, saat negeri ini dikatakan sudah damai, saat orang-orang tidak takut mengatakan tanah ini sudah merdeka, masih ada larangan mengucapkan kata “merdeka”.

Inilah yang membuat seorang lelaki tua di sudut sebuah kota asék-asék ulè saat membaca sebuah judul berita di media lokal, “Jangan Teriakkan Kata Merdeka”. Aneh, pikirnya, negara ini sudah merdeka, kok masih dilarang meneriakkan kata itu, sedangkan saat perang zaman dahulu, asal berjumpa satu sama lain, saling semangat mengumbar kata “merdeka… merdeka…”

Sembari senyum simpul, lelaki tua itu terus menyimak isi berita di koran lokal tersebut. Yang membuat dia bertambah geli, pernyataan larangan itu disampaikan oleh orang yang dulunya mengaku sebagai pejuang, yang dulunya juga suka berteriak “merdeka”.

“Ah,” kata lelaki tua. “Negeri ini semakin lama semakin aneh saja. Saat perang, orang-orang berserabutan meneriakkan kata merdeka, saat negeri memang sudah merdeka, orang-orang malah dilarang berkata merdeka, walau hanya untuk sebuah semangat empat lima.”

Di tempat lain, yang menangguk kata “merdeka” di air keruh terus bertaburan, seolah negeri ini belum merdeka, sehingga brosur, stikers, dan beragam bentuk selebaran lainnya bertebaran. Padahal, 17 Agutus 2008 (tahun ini), usia kemerdekaan Indonesia sudah diperingati 63 kali. Dan indatu masih berwasiat, “bèk gata jeuruet bulôh beukah, teusie jaroe jitubiet darah.” Hôm hai, kadang pih nyoe sibak rukok teuk.. hehehe…

2 pemikiran pada “Merdeka!!!

Tinggalkan komentar